BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem pendidikan tidak terpisahkan
dari keseluruhan sistem kehidupan umat manusia. Artinya, sistem pendidikan
merupakan bagian integral dalam keseluruhan sistem kehidupan, dan berperan
krusial serta strategis dalam meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Sementara
itu, kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia tengah memasuki babakan
baru, yakni reformasi atau pembaharuan tatanan yang ditujukan
untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa agar dapat sejajar dan mampu
bersaing dalam percaturan kehidupan dengan bangsa lain. Dalam mencapai tujuan
tersebut diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi; atau pelbagai
kompetensi yang berdaya dan berhasilguna demi membangun diri dan bangsa.Di
samping memasuki tatanan reformasi, bangsa Indonesia juga tidak dapat mengelak
dari derasnya arus globalisasi yang berdampak terhadap pelbagai dimensi kehidupan.
Dalam masyarakat global, manusia
hidup di antara manusia lain yang bertekad kuat untuk berdaya-saing tinggi.
Bangsa Indonesia dalam masyarakat global harus berkompetisi dalam standar dan
pasar internasional, bukan hanya dalam produk materi, melainkan dalam
pikiran dan gagasan. Kata kunci reformasi maupun globalisasi adalah perubahan
dalam pelbagai dimensi kehidupan manusia. Untuk menjawab tantangan perubahan
tersebut tiada lain adalah pengembangan sumberdaya manusia yang berkualitas
melalui pendidikan yang prospektif, yakni pendidikan yang terfokus kepada
pencapaian suatu masyarakat yang belajar sepanjang hayat. Dalam fokus
pendidikan yang seperti itu terkandung implikasi, bahwa upaya pendidikan bukan
hanya menyiapkan manusia untuk menguasai pengetahuan yang sesuai dengan tuntutan
dunia kerja pada saat kini, melainkan manusia yang mampu, sanggup, dan mau
belajar sepanjang hidupnya. Dengan kata lain, belajar bukan sekadar aktivitas.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
yang menjadi rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut
1.
Bagaimana Dimensi Dalam Pelaksanaan Konseling Lintas
Budaya?
2.
Bagaimana Faktor-Faktor Penghambat dalam Konseling
Lintas Budaya
1.3 Tujuan
Adapun
yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah mengetahui dimensi dalam
pelaksanaan konseling lintas budaya, serta mengetahui faktor-faktor penghambat
dalam konseling lintas budaya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dimensi Dalam Pelaksanaan Konseling Lintas Budaya
2.1.1 Sistem Budaya dan Bimbingan Konseling
1.
Sistem kebudayaan
a.
Sistem kebudayaan atau nilai budaya
Berisi kompleksi ide-ide, gagasan, konsep dan pikiran
manusia yang menjadi sumber inspirasi dan orientasi dalam menghadapi kehidupan.
Orientasi atau pandangan ini mengkristal kuat sebagai jiwa dari masyarakat
tertentu. Gagasan ini berkait satu sama lain menjadi suatub sistem yang
berpola. Sistem budaya ini mengatur dan memberi arah kepada sekelompok
masyarakat dalam menghadaipimasalah-masalah kehidupan.nilai budaya ini
menyangkut pandangan tentang kebenaran, kebaikan , keindahan,kenyataan dan
sebagainya. Dalam hal ini kluckohn( kuncaradiningrat,1990;Sulaiman)
mengemukakan empat orientasi nilai budayayaitu :
1)
Hakikat
hidup manusia,
2)
Hakikat
waktu,
3)
Hakikat
karya,
4)
Hakikat
hubungan semua manusia,dan
5)
Hakikat
hubungan manusia dan alam.
b.
Sistem sosial
Yaitu tidak berpola yang terdiri dari pola
aktifitas–aktifitas manusia yang saling berinteraksi (berhubungan) serta
bergaul satu sama lain dari waktu ke waktu, yang menetap dalam bentuk adat tata
perilaku.
c.
Kebudayaan Fisisk
Merupakan hasil karya manusia yang bersifat fisik, konkrit,
dapat berbentuk benda-benda yang dapat diraba.
2.1.2
Dimensi-dimensi bimbingan dan konseling
Morril, Oetting,dan Hurs (dalam Ivey, Lyn Simek,1980)
melihat BK dalam tiga dimensi yang di gambarkan dalam suatu kubus, yaitu :
1. Target of intervention
(individual,primary group,associational group,dan community group)
2. Purpos of intervention
(remidiation,perevention, dan develmedia)
3. Method of intervention (direct
service, consulation/training, media)
4. Tohari Musnamar (1986)
mengetengahkan sepuluh komponen dalam sisitem BK, yaitu:
a. Sistem konsep dasar
b. Sistem pembimbingan
c. Subyek-subyek yang dibimbing
d. Subsistem metode dan tehnik
e. Subsistem strategi
f. Subsistemadministrasi dan organisasi
g. Subsistem pelayanan
h. Subsistem saran dan biaya
i.
Subsistem
lingkungan
j.
Subsistem
usaha pengembangan
2.1.3
Dimensi
Budaya dalam Konseling
Inti pelayanan bimbingan dan konseling adalah “komunikasi”
antara konselor dan klien. Dalam komunikasi tersebut melibatkan seluruh
kepribadian klien dan konselor, dimana kepribadian tersebut merupakan produk
dari budayanya.
1.
Budaya
akan memberikan warna dan arah bagi subsistem konsep dasar BK, yang mencakup
landasan filosofik,tujuan konseling,prinsip dan asas BK,serta kode etik BK.
2.
Budaya
memeberikan warna terhadap subsistem pembimbingan baik yang berkaitan dengan
kualifikasi pendidikan dan latihan, penempatan bimbingan.
3.
Budaya
akan memberikan warna bagi subsistem subyek yang dibimbing.
4.
Budaya
juga menentukan dan mewarnai metode memahami individu-individu, dan
metode/tehnik bimbingan konseling.
5.
Budaya
akan memberikan arah bagi program-program BK.
6.
Budaya
menentukan sistem administrasi dan organisasi BK.
7.
Budaya
juga menentukan sistem sarana,prasaran dan biaya.
8.
Budaya
menentukan sistem proses layanan.
9.
Budaya
mewarnai subsistem lingkungan konseling.
10.
Budaya
juga mempengaruhi dan mewarnai sistem pengembangan bimbingan dan konseling.
Landrine (1992)membedakan adanya reffential
self and indexial self,
a.
Reffential
self adfalah
self atau diri yang sendiri,mandiri asli,kreatif dapat mengontrol perilaku,
menentukan diri, pikira,self yang terbungkus dalam budaya barat.
b.
Indexial
self yaitu self atau diri pribadi yang kurang mandiri, kurang dapat mengontrol
diri, jiwanya lemah dan kering, kirang kreatif, mudah dipengaruhi.
Hofstede dari Belanda (dalam dragum 1996,Bery dkk,1999) mengidentifikasikan
empat faktor dimensi pola pribadi atau pola hidup manusia, yaitu:
a.
Individualisme
menunjukan kecondongan seseorang terhadap diri sendiri, yang memiliki
kesungguhan, berusaha atau mampu mencapai tujuan, merealisasikan hidupnya
sendiri.
b.
Power
distance merupakan konsep yang menunjukan ketidaksamaan atau jurang pemisah (
suatu tatanan berjinjang) antara atasan dan bawahan dalam suatu organisasi,
atau antara perasaan superior dan interior.
c.
Uncerainty
avoidance atau penghindaran akan ketidakmenentuan merupakan konsep yang
menunjukan tingkat kebutuhan seseorang akan setruktur,aturan, norma, petunjuk
atau informasi untuk mengantisipasi kehidupan yang kompleks, yang sulit
diprediksi.
d.
Masculinity
dan feminity, menunjukan pola kepribadian atau kebudayaan yang membedakan peran
antara laki-lak dan permpuan.
2. Variabel konselor
Konselor juga membawa karakteristik kompetensi profesional
sebagai konselor, seperti budaya profesi yang mencakup asumsi-asumsi,
keyakinan, nilai sikap-sikap profesi, keterampilan-keterampilan profesi dan
sebagainya.
3. Variabel klien
Sebagaimana konselor klien juga membawa seperangkat
karakteristik, baik persoanl-sosio-kultural dan pengalaman hidup. Beberapa
aspek personal-soso-kultural yaitu: aspek biologis (jender, ras, prefensi
seksual)budaya (asumsi-asumsi, keyakinan, nilai sikap) gaya kongninitif (
proses penerimaan, informasi berfikir,stereotype),bakat, kecakapan, minat,
harapan, perilaku.
4. Veriabel proses konseling
Dalam proses konseling terlibat dua fihak yaitu klien dan
konselor, yang saling beriteraksi untuk mencapai suatu tujuan.
2.2 Faktor-Faktor Penghambat dalam
Konseling Lintas Budaya
Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam
pelaksanaan konseling lintas budaya, faktor-faktor yang dimaksud diantaranya adalah
:
2.2.1
Bahasa
Perbedaan bahasa merupakan penghambat besar yang perlu
diperhatikan dalam konseling lintas budaya. Hal ini mengingat bahwa percakapan
merupakan alat yang paling mendasar yang digunakan oleh konselor dalam
konseling (Marsella dan Paderson, 1983). Hambatan ini bisa dijumpai jika
konselor menghadapi klien yang kemungkinan menguasai bahasa lain, tingkat
penguasaan budayanya kurang. Keadaan di Indonesia, sering
konselor menguasai bahasa daerahnya disamping bahasa Indonesia.
2.2.2
Nilai
Nilai ikatan budaya merupakan suatu
penghambat pada konseling lintas budaya. Konselor secara tidak sadar memaksa
nilai-nilai mereka pada klien minoritas (Belkin, 1984) Misalnya perbedaan nilai
budaya tentang sikap terbuka, pengungkapan diri, antara nilai yang ada pada
konselor dengan nilai klien. Di Indonesia, tidak sedikit terdapat perbedaan
nilai yang ada pada konselor dan nilai-nilai yang dianut oleh klien. Klien
menganut nilai-nilai dari kehidupan keluarganya- itupun masih sering terdapat
kesenjangan nilai dengan orang tua- apalagi dengan konselor yang merupakan
orang lain bagi klien, maka kesenjangan nilai sering terjadi.
2.2.3
Stereotipe
Stereotipe adalah opini/pendapat
yang terlalu disederhanakan, dan tidak disertai penilaian/kritikan (Brown dan
Srebalus, 1988) Stereotipe merupakan generalisasi mengenai orang-orang dari
kelompok lain, dimana seseorang memberi definisi dulu baru mengamati.
Stereotipe meruapakan kendala konseling (termasuk hambatan sikap) karena
terbentuk secara lama dan berakar sehingga sulit diubah. Hal ini dapat dipahami
karena stereotipe itu sebagai hasil belajar, sehingga makin lama belajar makin
sulit diubah. Lebih-lebi menjadi kendala jika konselor dihinggapi stereotipe,
apalagi klien juga punya stereotipe, dan keadaannya berlawanan. Ungkapan-ungkapan
stereotipe misalnya orang Solo itu halus, Madura itu keras, anak itu malas,
anak itu badung. Stereotipe itu bisa berupa kelompok dan bisa perorangan.
2.2.4
Kelas Sosial
Di salam
masyarakat terdapat kelas sosial atas (atas-atas, atas-menengah, atas-bawah);
Menengah (Menengah-atas, menengah-menengah, menengah-bawah); dan bawah
(Bawah-atas, bawah-menengah, bawah-bawah). Pada proses konseling, tingkat
perbedaan antara pengalaman antara konselor dengan klien, persepsi dan wawasan
mereka terhadap dunia dapat merupakan hambatan besar. Konselor dari kelas
sosial menengah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan klien dan kelas sosial
bawah atau atas.
2.2.5
Suku atau
Bangsa
Banyak
perhatian diberikan pada perbedaan-perbedaan buday pada suku/bangsa minoritas
dan pengaruh perbedaaan ini pada masalah-masalah yang berhubungan dengan
konseling (Marsella dan Pedersen, 1983). Perbedaan suku seringkali merupakan
penghambat proses konseling, karena masing-masing suku memiliki kebiasaan dan
budaya yang berbeda, hal ini yang perlu dipahami oleh konselor.
2.2.6
Jenis Kelamin
Perbedaan
jenis kelamin antara konselor dengan klien juga merupakan penghambat proses
konseling. Apalagi diantara mereka terhinggapi stereotipe terhadap jenis
kelamin tertentu. Misalnya, konselor pria mempunyai stereotipe terhadap klien
wanita yang mudah terpengaruh dan mudah emosi. Klien pria mempunyai stereotipe
terhadap konselor wanita yang tidak tegas misalnya. Sebaliknya, klien wanita
menganggap konselor pria yang tidak dapat memahami perasaannya, karena pada
dasarnya pria itu banyak menggunakan rasionya.
2.2.7
Usia
Proses konseling tidak hanya untuk anak-anak usia remaja.
Perkembangan berikutnya konseling melayani segala usia, dari anak-anak sampai
usia tua. Masing-masing periode perkembangan (usia) memiliki karakteristik yang
berbeda, yang harus dipahami terutama oleh konselor. Usia merupakan penghambat
karena pada dasarnya pada usia tertentu ada kebutuhan, karakteristik, atau
hal-hal yang perlu dipahami oleh konselor. Misalnya, konselor yang masih muda
membantu klien yang lebih tua usianya. Hal ini bukan berarti tidak ada problem
bagi konselor yang melayani anak-anak usia muda.
2.2.8
Keadaan Orang-orang Cacat
Keadaan orang cacat merupakan penghambat bagi proses
konseling. Keadaan cacat yang dimiliki seseorang akan memperngaruhi perilaku,
sikap, kepekaan perasaan, dan reaksinya terhadap lingkungan. Untuk dapat
berurusan secara efektif dengan kaum cacat, konselor perlu mempunyai latar
belakang pengetahuan yang cukup dan mempunyai berbagai keterampilan, disamping
menguji sikap-sikap konselor dan penggunaan bahasanya. (Brown dan
Srebalus, 1988).
2.2.9
Gaya Hidup
Profesi
konseling sudah mencapai posisi dimana semua minat individu dan masyarakat
dilayani dengan lebih efektif didalam budaya majemuk, yang menganggap sahnya
berbagai gaya hidup (Brown dan Srebalus, 1988). Gaya hidup dapat dibagi menjadi
gaya hidup tradisional, dengan perkawainan dan anak-anak, dan gaya hidup
alternatif yang kadang-kadang dan seringkali tidak diakui oleh masyarakat luas.
Gaya hidup alternatif misalnya hidup sendiri, perkawainan tanpa anak, hidup
bersama tanpa pernikahan, hidup sederhana tanpa harta benda. Ada banyak gaya
hidup yang merupakan penghambat proses konseling, terutama gaya hidup
alternatife yang sulit dimengerti dan diterima oleh masyarakat umum termasuk
konselor.
BAB III
KESIMPULAN
Berisi kompleksi ide-ide, gagasan, konsep dan pikiran
manusia yang menjadi sumber inspirasi dan orientasi dalam menghadapi kehidupan.
Orientasi atau pandangan ini mengkristal kuat sebagai jiwa dari masyarakat
tertentu. Gagasan ini berkait satu sama lain menjadi suatub sistem yang berpola.
Sistem budaya ini mengatur dan memberi arah kepada sekelompok masyarakat dalam
menghadaipimasalah-masalah kehidupan.nilai budaya ini menyangkut pandangan
tentang kebenaran, kebaikan , keindahan,kenyataan dan sebagainya
Ada beberapa faktor yang menjadi
penghambat dalam pelaksanaan konseling lintas budaya, faktor-faktor yang
dimaksud diantaranya adalah Perbedaan bahasa merupakan penghambat besar yang
perlu diperhatikan dalam konseling lintas budaya. Hal ini mengingat bahwa
percakapan merupakan alat yang paling mendasar yang digunakan oleh konselor
dalam konseling (Marsella dan Paderson, 1983). Hambatan ini bisa dijumpai jika
konselor menghadapi klien yang kemungkinan menguasai bahasa lain, tingkat
penguasaan budayanya kurang. Keadaan di Indonesia, sering
konselor menguasai bahasa daerahnya disamping bahasa Indonesi.
DAFTAR PUSTAKA
http://ass-adahkonseling.blogspot.com/2012/03/konselor-lintas-budaya.html