Senin, 25 Maret 2013

Dimensi dalam pelaksanaan konseling lintas budaya dan faktor penghambat dalam konseling lintas budaya



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Sistem pendidikan tidak terpisahkan dari keseluruhan sistem kehidupan umat manusia. Artinya, sistem pendidikan merupakan bagian integral dalam keseluruhan sistem kehidupan, dan berperan krusial serta strategis dalam meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Sementara itu, kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia tengah memasuki babakan baru, yakni reformasi atau pembaharuan tatanan yang ditujukan untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa agar dapat sejajar dan mampu bersaing dalam percaturan kehidupan dengan bangsa lain. Dalam mencapai tujuan tersebut diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi; atau pelbagai kompetensi yang berdaya dan berhasilguna demi membangun diri dan bangsa.Di samping memasuki tatanan reformasi, bangsa Indonesia juga tidak dapat mengelak dari derasnya arus globalisasi yang berdampak terhadap pelbagai dimensi kehidupan.
                Dalam masyarakat global, manusia hidup di antara manusia lain yang bertekad kuat untuk berdaya-saing tinggi. Bangsa Indonesia dalam masyarakat global harus berkompetisi dalam standar dan pasar internasional, bukan hanya dalam produk materi, melainkan dalam pikiran dan gagasan. Kata kunci reformasi maupun globalisasi adalah perubahan dalam pelbagai dimensi kehidupan manusia. Untuk menjawab tantangan perubahan tersebut tiada lain adalah pengembangan sumberdaya manusia yang berkualitas melalui pendidikan yang prospektif, yakni pendidikan yang terfokus kepada pencapaian suatu masyarakat yang belajar sepanjang hayat. Dalam fokus pendidikan yang seperti itu terkandung implikasi, bahwa upaya pendidikan bukan hanya menyiapkan manusia untuk menguasai pengetahuan yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja pada saat kini, melainkan manusia yang mampu, sanggup, dan mau belajar sepanjang hidupnya. Dengan kata lain, belajar bukan sekadar aktivitas.

1.2  Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut
1.      Bagaimana Dimensi Dalam Pelaksanaan Konseling Lintas Budaya?
2.      Bagaimana Faktor-Faktor Penghambat dalam Konseling Lintas Budaya

1.3  Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah mengetahui dimensi dalam pelaksanaan konseling lintas budaya, serta mengetahui faktor-faktor penghambat dalam konseling lintas budaya


BAB II
PEMBAHASAN
                                                    
2.1 Dimensi Dalam Pelaksanaan Konseling Lintas Budaya

2.1.1 Sistem Budaya dan Bimbingan Konseling

1. Sistem kebudayaan
a. Sistem kebudayaan atau nilai budaya
Berisi kompleksi ide-ide, gagasan, konsep dan pikiran manusia yang menjadi sumber inspirasi dan orientasi dalam menghadapi kehidupan. Orientasi atau pandangan ini mengkristal kuat sebagai jiwa dari masyarakat tertentu. Gagasan ini berkait satu sama lain menjadi suatub sistem yang berpola. Sistem budaya ini mengatur dan memberi arah kepada sekelompok masyarakat dalam menghadaipimasalah-masalah kehidupan.nilai budaya ini menyangkut pandangan tentang kebenaran, kebaikan , keindahan,kenyataan dan sebagainya. Dalam hal ini kluckohn( kuncaradiningrat,1990;Sulaiman) mengemukakan empat orientasi nilai budayayaitu :
1)      Hakikat hidup manusia,
2)      Hakikat waktu,
3)      Hakikat karya,
4)      Hakikat hubungan semua manusia,dan
5)      Hakikat hubungan manusia dan alam.

b. Sistem sosial
Yaitu tidak berpola yang terdiri dari pola aktifitas–aktifitas manusia yang saling berinteraksi (berhubungan) serta bergaul satu sama lain dari waktu ke waktu, yang menetap dalam bentuk adat tata perilaku. 

c. Kebudayaan Fisisk
Merupakan hasil karya manusia yang bersifat fisik, konkrit, dapat berbentuk benda-benda yang dapat diraba.

2.1.2 Dimensi-dimensi bimbingan dan konseling

Morril, Oetting,dan Hurs (dalam Ivey, Lyn Simek,1980) melihat BK dalam tiga dimensi yang di gambarkan dalam suatu kubus, yaitu :
1.       Target of intervention (individual,primary group,associational group,dan community group)
2.       Purpos of intervention (remidiation,perevention, dan develmedia)
3.       Method of intervention (direct service, consulation/training, media)
4.       Tohari Musnamar (1986) mengetengahkan sepuluh komponen dalam sisitem BK, yaitu:
a.       Sistem konsep dasar
b.      Sistem pembimbingan
c.       Subyek-subyek yang dibimbing
d.      Subsistem metode dan tehnik
e.       Subsistem strategi
f.       Subsistemadministrasi dan organisasi
g.      Subsistem pelayanan
h.      Subsistem saran dan biaya
i.        Subsistem lingkungan
j.        Subsistem usaha pengembangan

2.1.3        Dimensi Budaya dalam Konseling
Inti pelayanan bimbingan dan konseling adalah “komunikasi” antara konselor dan klien. Dalam komunikasi tersebut melibatkan seluruh kepribadian klien dan konselor, dimana kepribadian tersebut merupakan produk dari budayanya.
1.      Budaya akan memberikan warna dan arah bagi subsistem konsep dasar BK, yang mencakup landasan filosofik,tujuan konseling,prinsip dan asas BK,serta kode etik BK.
2.      Budaya memeberikan warna terhadap subsistem pembimbingan baik yang berkaitan dengan kualifikasi pendidikan dan latihan, penempatan bimbingan.
3.      Budaya akan memberikan warna bagi subsistem subyek yang dibimbing.
4.      Budaya juga menentukan dan mewarnai metode memahami individu-individu, dan metode/tehnik bimbingan konseling.
5.      Budaya akan memberikan arah bagi program-program BK.
6.      Budaya menentukan sistem administrasi dan organisasi BK.
7.      Budaya juga menentukan sistem sarana,prasaran dan biaya.
8.      Budaya menentukan sistem proses layanan.
9.      Budaya mewarnai subsistem lingkungan konseling.
10.  Budaya juga mempengaruhi dan mewarnai sistem pengembangan bimbingan dan konseling.

Landrine (1992)membedakan adanya reffential self and indexial self,
a.       Reffential self adfalah self atau diri yang sendiri,mandiri asli,kreatif dapat mengontrol perilaku, menentukan diri, pikira,self yang terbungkus dalam budaya barat.
b.      Indexial self yaitu self atau diri pribadi yang kurang mandiri, kurang dapat mengontrol diri, jiwanya lemah dan kering, kirang kreatif, mudah dipengaruhi.
Hofstede dari Belanda (dalam dragum 1996,Bery dkk,1999) mengidentifikasikan empat faktor dimensi pola pribadi atau pola hidup manusia, yaitu:
a.       Individualisme menunjukan kecondongan seseorang terhadap diri sendiri, yang memiliki kesungguhan, berusaha atau mampu mencapai tujuan, merealisasikan hidupnya sendiri.
b.      Power distance merupakan konsep yang menunjukan ketidaksamaan atau jurang pemisah ( suatu tatanan berjinjang) antara atasan dan bawahan dalam suatu organisasi, atau antara perasaan superior dan interior.
c.       Uncerainty avoidance atau penghindaran akan ketidakmenentuan merupakan konsep yang menunjukan tingkat kebutuhan seseorang akan setruktur,aturan, norma, petunjuk atau informasi untuk mengantisipasi kehidupan yang kompleks, yang sulit diprediksi.
d.      Masculinity dan feminity, menunjukan pola kepribadian atau kebudayaan yang membedakan peran antara laki-lak dan permpuan.

2. Variabel konselor
Konselor juga membawa karakteristik kompetensi profesional sebagai konselor, seperti budaya profesi yang mencakup asumsi-asumsi, keyakinan, nilai sikap-sikap profesi, keterampilan-keterampilan profesi dan sebagainya.

3. Variabel klien
Sebagaimana konselor klien juga membawa seperangkat karakteristik, baik persoanl-sosio-kultural dan pengalaman hidup. Beberapa aspek  personal-soso-kultural yaitu: aspek biologis (jender, ras, prefensi seksual)budaya (asumsi-asumsi, keyakinan, nilai sikap) gaya kongninitif ( proses penerimaan, informasi berfikir,stereotype),bakat, kecakapan, minat, harapan, perilaku.

4. Veriabel proses konseling
Dalam proses konseling terlibat dua fihak yaitu klien dan konselor, yang saling beriteraksi untuk mencapai suatu tujuan.

2.2      Faktor-Faktor Penghambat dalam Konseling Lintas Budaya

Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan konseling lintas budaya, faktor-faktor yang dimaksud diantaranya adalah :

2.2.1 Bahasa

Perbedaan bahasa merupakan penghambat besar yang perlu diperhatikan dalam konseling lintas budaya. Hal ini mengingat bahwa percakapan merupakan alat yang paling mendasar yang digunakan oleh konselor dalam konseling (Marsella dan Paderson, 1983). Hambatan ini bisa dijumpai jika konselor menghadapi klien yang kemungkinan menguasai bahasa lain, tingkat penguasaan budayanya kurang. Keadaan di Indonesia, sering konselor menguasai bahasa daerahnya disamping bahasa Indonesia.

2.2.2        Nilai

Nilai ikatan budaya merupakan suatu penghambat pada konseling lintas budaya. Konselor secara tidak sadar memaksa nilai-nilai mereka pada klien minoritas (Belkin, 1984) Misalnya perbedaan nilai budaya tentang sikap terbuka, pengungkapan diri, antara nilai yang ada pada konselor dengan nilai klien. Di Indonesia, tidak sedikit terdapat perbedaan nilai yang ada pada konselor dan nilai-nilai yang dianut oleh klien. Klien menganut nilai-nilai dari kehidupan keluarganya- itupun masih sering terdapat kesenjangan nilai dengan orang tua- apalagi dengan konselor yang merupakan orang lain bagi klien, maka kesenjangan nilai sering terjadi.

2.2.3        Stereotipe

Stereotipe adalah opini/pendapat yang terlalu disederhanakan, dan tidak disertai penilaian/kritikan (Brown dan Srebalus, 1988) Stereotipe merupakan generalisasi mengenai orang-orang dari kelompok lain, dimana seseorang memberi definisi dulu baru mengamati. Stereotipe meruapakan kendala konseling (termasuk hambatan sikap) karena terbentuk secara lama dan berakar sehingga sulit diubah. Hal ini dapat dipahami karena stereotipe itu sebagai hasil belajar, sehingga makin lama belajar makin sulit diubah. Lebih-lebi menjadi kendala jika konselor dihinggapi stereotipe, apalagi klien juga punya stereotipe, dan keadaannya berlawanan. Ungkapan-ungkapan stereotipe misalnya orang Solo itu halus, Madura itu keras, anak itu malas, anak itu badung. Stereotipe itu bisa berupa kelompok dan bisa perorangan.
2.2.4         Kelas Sosial
Di salam masyarakat terdapat kelas sosial atas (atas-atas, atas-menengah, atas-bawah); Menengah (Menengah-atas, menengah-menengah, menengah-bawah); dan bawah (Bawah-atas, bawah-menengah, bawah-bawah). Pada proses konseling, tingkat perbedaan antara pengalaman antara konselor dengan klien, persepsi dan wawasan mereka terhadap dunia dapat merupakan hambatan besar. Konselor dari kelas sosial menengah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan klien dan kelas sosial bawah atau atas.
2.2.5        Suku atau Bangsa
Banyak perhatian diberikan pada perbedaan-perbedaan buday pada suku/bangsa minoritas dan pengaruh perbedaaan ini pada masalah-masalah yang berhubungan dengan konseling (Marsella dan Pedersen, 1983). Perbedaan suku seringkali merupakan penghambat proses konseling, karena masing-masing suku memiliki kebiasaan dan budaya yang berbeda, hal ini yang perlu dipahami oleh konselor.

2.2.6        Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin antara konselor dengan klien juga merupakan penghambat proses konseling. Apalagi diantara mereka terhinggapi stereotipe terhadap jenis kelamin tertentu. Misalnya, konselor pria mempunyai stereotipe terhadap klien wanita yang mudah terpengaruh dan mudah emosi. Klien pria mempunyai stereotipe terhadap konselor wanita yang tidak tegas misalnya. Sebaliknya, klien wanita menganggap konselor pria yang tidak dapat memahami perasaannya, karena pada dasarnya pria itu banyak menggunakan rasionya.
2.2.7        Usia
Proses konseling tidak hanya untuk anak-anak usia remaja. Perkembangan berikutnya konseling melayani segala usia, dari anak-anak sampai usia tua. Masing-masing periode perkembangan (usia) memiliki karakteristik yang berbeda, yang harus dipahami terutama oleh konselor. Usia merupakan penghambat karena pada dasarnya pada usia tertentu ada kebutuhan, karakteristik, atau hal-hal yang perlu dipahami oleh konselor. Misalnya, konselor yang masih muda membantu klien yang lebih tua usianya. Hal ini bukan berarti tidak ada problem bagi konselor yang melayani anak-anak usia muda.
2.2.8        Keadaan Orang-orang Cacat
Keadaan orang cacat merupakan penghambat bagi proses konseling. Keadaan cacat yang dimiliki seseorang akan memperngaruhi perilaku, sikap, kepekaan perasaan, dan reaksinya terhadap lingkungan. Untuk dapat berurusan secara efektif dengan kaum cacat, konselor perlu mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup dan mempunyai berbagai keterampilan, disamping menguji sikap-sikap konselor dan penggunaan bahasanya. (Brown dan Srebalus, 1988).
2.2.9        Gaya Hidup
Profesi konseling sudah mencapai posisi dimana semua minat individu dan masyarakat dilayani dengan lebih efektif didalam budaya majemuk, yang menganggap sahnya berbagai gaya hidup (Brown dan Srebalus, 1988). Gaya hidup dapat dibagi menjadi gaya hidup tradisional, dengan perkawainan dan anak-anak, dan gaya hidup alternatif yang kadang-kadang dan seringkali tidak diakui oleh masyarakat luas. Gaya hidup alternatif misalnya hidup sendiri, perkawainan tanpa anak, hidup bersama tanpa pernikahan, hidup sederhana tanpa harta benda. Ada banyak gaya hidup yang merupakan penghambat proses konseling, terutama gaya hidup alternatife yang sulit dimengerti dan diterima oleh masyarakat umum termasuk konselor.


BAB III
KESIMPULAN
Berisi kompleksi ide-ide, gagasan, konsep dan pikiran manusia yang menjadi sumber inspirasi dan orientasi dalam menghadapi kehidupan. Orientasi atau pandangan ini mengkristal kuat sebagai jiwa dari masyarakat tertentu. Gagasan ini berkait satu sama lain menjadi suatub sistem yang berpola. Sistem budaya ini mengatur dan memberi arah kepada sekelompok masyarakat dalam menghadaipimasalah-masalah kehidupan.nilai budaya ini menyangkut pandangan tentang kebenaran, kebaikan , keindahan,kenyataan dan sebagainya
 Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan konseling lintas budaya, faktor-faktor yang dimaksud diantaranya adalah Perbedaan bahasa merupakan penghambat besar yang perlu diperhatikan dalam konseling lintas budaya. Hal ini mengingat bahwa percakapan merupakan alat yang paling mendasar yang digunakan oleh konselor dalam konseling (Marsella dan Paderson, 1983). Hambatan ini bisa dijumpai jika konselor menghadapi klien yang kemungkinan menguasai bahasa lain, tingkat penguasaan budayanya kurang. Keadaan di Indonesia, sering konselor menguasai bahasa daerahnya disamping bahasa Indonesi.



DAFTAR PUSTAKA
http://ass-adahkonseling.blogspot.com/2012/03/konselor-lintas-budaya.html

Sabtu, 09 Maret 2013

Fungsi Keluarga



Fungsi keluarga menurut Friedman 1998 (dalam Setiawati & Santun, 2008) adalah :
a)    Fungsi Afektif
Fungsi afektif adalah fungsi internal  keluarga sebagai dasar kekuatan keluarga. Didalamnya terkait dengan saling mengasihi, saling mendukung dan saling menghargai antar anggota kelurga.
b)    Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi adalah fungsi yang mengembangkan proses interaksi dalam keluarga. Sosialisasi dimulai sejak lahir dan keluarga merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi
c)    Fungsi Reproduksi
Fungsi reproduksi adalah fungsi keluarga untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia.
d)    Fungsi Ekomomi
Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya yaitu : sandang, pangan dan papan.
e)    Fungsi Perawatan Kesehatan
Fungsi perawatan kesehatan adalah fungsi keluarga untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan dan merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.