Rabu, 01 Mei 2013

Pendekatan Konseling Gestalt



Frederick Perls (1893-1970) adalah pendiri pendekatan konseling Gestalt. Frederick dilahirkan di Berlin dan berasal dari keluarga Yahudi. Masa mudanya adalahmasa masa-masa yang penuh dengan masalah. Dia mengganggap dirinya sebagai sumber masalah dalam keluarganya dan dia bermasalah dengan pendidikannya. Bahkan di kelas tujuh, Frederick sempat tinggal kelas sebanyak dua kali dan bahkan keluar dari sekolah karena dia memiliki masalah dengan gurunya.

Walaupun di masa mudanya Frederick memiliki masalah dengan pendidikan, tetapi dia dapat menyelesaikan sarjananya, dan pada tahun 1916 dia bergabung dengan angkatan darat Jerman pada PD I.
Proses perkembangan teori Gestalt tidak bisa dilepaskan dari sosok Laura (Lore) Posner (1905-1990). Dia adalah isteri Frederick perls yang secara signifikan turut mengembangkan teori Gestalt. Laura dilahirkan di Pforzheim Jerman. Awal mulanya dia adalah seorang pianis sampai dengan umur 18 tahun. Pada awalnya, Laura juga seorang pengikut aliran Psikoanalisa, yang kemudian pindah untuk mendalami teori-teori Gestalt. Pada tahun 1926, Laura dan Perls secara aktif melakukan kolaborasi untuk mengembangkan teori Gestalt, hingga pada tahun 1930 akhirnya mereka menikah. Pada tahun 1952, mereka mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy.
Pandangan tentang manusia
Walaupun pada awalnya Frederick merupakan pengikut aliran psikoanalisa, tetapi dalam perkembangannya, teori Gestal banyak bertentangan dengan teori Sigmund Freud. Jika Psikoanalisa memandang manusia secara mekanistik, maka Frederick memandang manusia secara holistic. Freud memandang manusia selalu dikuasai oleh konflik (intrapsychic conflict) awal masa anak-anak yang ditekan, maka Frederick memandang manusia pada situasi saat ini. Sehingga Gestalt lebih menekankan pada pada apa yang dialami oleh konseli saat ini daripada hal-hal yang pernah dialamai oleh konseli, dengan kata lain, Gestalt lebih memusatkan pada bagaimana konseli berperilaku, berpikiran dan merasakan pada situasi saat ini (here and now) sebagai usaha untuk memahami diri daripada mengapa konseli berperilaku seperti itu.
Teori Gestalt merupakan suatu pendekatan konseling yang didasarkan pada suatu pemikiran bahwa individu harus dipahami pada konteks hubungan yang sedang berjalan dengan lingkungan (ongoing relationships). Sehingga salah satu tujuan konseling yang ingin dicapai oleh Gestalt adalah menyadarkan (awareness) konseli terhadap apa yang sedang dialami dan bagaimana mereka menangani masalahnya. Gestalt berkeyakinan bahwa melalui kesadaran ini maka perubahan akan muncul secara otomatis.
Pendekatan Gestalt mengarahkan konseli untuk secara langsung mengalami masalahnya daripada hanya sekedar berbicara situasi yang seringkali bersifat abstrak. Dengan begitu, konselor Gestalt akan berusaha untuk memahami secara langsung bagaimana konseli berpikir, bagaimana konseli merasakan sesuatu dan bagaimana konseli melakukan sesuatu, sehingga konselor akan “hadir secara penuh” (fully present) dalam proses konseling sehingga yang pada akhirnya memunculkan kontak yang murni (genuine contacs) antara konselor dengan konseli.
Gestalt meyakini bahwa konseli adalah sosok yang terus tumbuh dan memiliki kemampuan untuk berdiri di atas dua kakinya sendiri serta mampu mengatasi masalahnya sendiri. Hal ini membuat pendekatan Gestalt memiliki dua agenda besar dalam proses konseling yaitu, a) menggerakkan konseli untuk berubah dari environmental support ke self-support dan b) integrasi ulang terhadap bagian-bagian kepribadian yang tidak dimiliki (reintegrating the disowned parts of personality).
Agenda sebagaimana disebut di atas berpengaruh terhadap proses konseling yang akan dilakukan oleh konselor. Dalam proses konseling, konselor tidak memiliki agenda khusus, konselor tidak memiliki keinginan-keinginan, memahami bagaimana konseli berhubungan dengan lingkungan secara saling ketergantungan (interdependence). Hal ini mengarahkan konselor untuk menekankan proses dialog selama proses konseling. Pendekatan ini akan menciptakan kontak yang spontan yang pada akhirnya berujung pada bagaimana konselor dan konseli memahami proses konseling itu sendiri (moment-to-moment experience).
Salah satu pemikiran penting dari teori Gestalt adalah memandang individu sebagai agen yang dapat melakukan regulasi diri (self-regulate). Pengontrolan diri akan muncul jika individu secara sadar memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Proses terapi hanya akan memfasilitasi bagaimana kesadaran itu muncul dan bagaimana kesadaran tersebut berinteraksi dalam proses konseling.
Yontef (1993) menyatakan secara eksplisit bahwa, “In Gestalt therapy there are no "shoulds." Instead of emphasizing what should be, Gestalt therapy stresses awareness of what is. What is, is. This contrasts with any therapist who "knows" what the patient "should" do”.
Pola pikir di atas menunjukkan bahwa dalam proses konseling, konseli akan berusaha mengenali siapa dirinya dan menjadi dirinya sendiri. Sebab Gestalt yakin bahwa permasalahan tidak akan selesai jika konseli masih menjadi orang lain. Masalah akan selesai jika konseli secara sadar memahami siapa dirinya. Sehingga, dalam proses konseling, konseli akan difasilitasi untuk memahami siapa dirinya dan bukan diarahkan untuk menjadi apa.

Prinsip Teori Gestalt
Dalam terapi Gestalt, pengalaman menyeluruh (pikiran, perasaan dan sensasi tubuh) dari individu menjadi perhatian yang sangat penting. Pendekatannya lebih dipusatkan pada kondisi di sini dan saat ini (here and now) yaitu menyadari apa yang terjadi dari waktu ke waktu (moment by moment).
Holism keseluruhan merupakan teori Gestalt yang utama. Gestalt tidak memandang manusia bagian perbagian. Manusia tidak bisa hanya diketahui dari komponen fisiknya saja, atau dari komponen psikisnya saja. Tetapi mengenal manusia harus dilakukan secara komprehensif, yaitu dari sisi psikis dan fisiknya. Selain itu, mengenal manusia tidak didasarkan pada diri individu itu saja, tetapi terintegrasi dengan lingkungan di mana individu tersebut berada. Perls (dalam Brownell, 2003) menyatakan bahwa holism dideskripsikan sebagai suatu keseluruhan bentuk kesadaran manusia yang meliputi respon motorik, respon perasaan, respon pikiran yang dimiliki oleh organisme.
Field Theory adalah teori Gestalt yang menyatakan bahwa mengenal manusia harus dilihat pula lingkungan di mana manusia itu berada. Dengan demikian, konselor akan memberikan perhatian lebih kepada konseli terhadap interaksinya dengan lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat, tempat kerja). Dengan kata lain, bahwa field theory merupakan suatu metode untuk mendeskripsikan keseluruhan medan (field) yang dialami oleh konseli. pada saat ini. Hal ini lebih daripada hanya sekedar menganalisis kejadian-kejadian yang telah terjadi dalam hubungannya dengan lingkungan (Yontef, 1993). The Figure-Formation Process dideskripsikan sebagai usaha individu untuk melakukan pengorganisasian atau memanipulasi lingkungannya dari waktu ke waktu.
Organismic Self-Regulation merupakan sebuah proses dimana seseorang berusaha dengan keras untuk menjaga keseimbangan yang secara terus menerus diganggu oleh kebutuhan-kebutuhan. Jika usaha untuk menjaga keseimbangan ini berjalan dengan baik maka mereka akann kembali ke dalam posisi utuh. Pada dasarnya manusia memiliki kekuatan yang secara alami akan mengarahkan mereka untuk melakukan proses penyeimbangan dalam dirinya. Proses penyeimbangan ini berbentuk proses asimilasi, mengakomodasi perubahan atau menolak pengaruh-pengaruh dari luar. Masalah seringkali muncul saat seseorang berusaha untuk melakukan pemutusan kontak (interruption contacts).
Saat Ini (The Now)
Dalam pendekatan Gestalt, situasi saat ini merupakan hal yang sangat penting (the most significant tense). Sehingga dalam proses konseling, konseli akan diajak untuk belajar mengapresiasi dan mengalami secara penuh keadaan saat ini. Gestalt tidak akan mencari tahu apa yang telah terjadi di masa lalu, tetapi lebih pada mendorong konseli untuk membicarakan saat ini. Pemusatan pada masa lalu akan menjadi jalan bagi konseli untuk menghindari masalahnya. Joel dan Edwin (1992) menyatakan ”What does this mean, "present centered"? In essence, it means that what is important is what is actual, not what is potential or what is past, but what is here, now”.
Untuk membantu konseli memahami keadaan saat ini, maka konselor dapat membantu dengan memberikan kata tanya “Apa” dan “Bagaimana”, dengan demikian, kata tanya “Mengapa” adalah kata tanya yang sangat jarang dipergunakan (Zimberoff dan Hartman, 2003). Bahkan, seringkali konselor memotong pembicaraan konseli, jika konseli mulai berkutat dengan masa lalunya. Konselor akan memotong pembicaraan konseli dengan pernyataan seperti, ”Apa yang kamu rasakan pada saat kakimu bergoyang saat bicara?’ atau ”Dapatkah kamu merasakan tekanan suaramu? Tidakkah kamu merasa ketakutan?” Usaha konselor ini adalah untuk mengembalikan kesadaran konseli saat ini.
Konselor Gestalt meyakini bahwa pengalaman masa lalu, seringkali mempengaruhi keadaan konseli saat ini, terlebih jika pengalaman masa lalu memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian atau masalah yang dimiliki oleh konseli. Di lain pihak, karena (mungkin) ketakutannya untuk menyelesaikan masalah, maka konseli cenderun untuk secara terus menerus membicarakan masa lalunya. Untuk mengatasi masalah ini, maka konselor dapat mengajak konseli untuk kembali ke saat ini dengan cara “membawa fantasinya ke saat ini” dan mencoba untuk mengajak konseli untuk melepaskan keinginannya. Sebagai contoh, seorang anak memiliki trauma dengan perilaku ayahnya. Konselor tidak mengajak konseli untuk membicarakan apa yang telah terjadi, tetapi lebih mengajak konseli untuk merasakan saat ini dan berorientasi pada pada apa yang ingin dilakukan (semisal, berbicara dengan ayahnya).

Urusan yang Belum Selesai (Unfinished Bussines)
Individu seringkali mengalami masalah dengan orang lain di masa lalu. Menurut Gestalt, masalah masa lalu yang belum terselesaikan atau terpecahkan disebut dengan Unfinished Bussiness yang dapat dimanifestasikan dengan munculnya kemarahan (resentment), amukan (rage), kebencian (hatred), rasa sakit (pain), cemas (anxiety), duka cita (grief), rasa bersalah (guild) dan perilaku menunda (abandonment).
Polster (dalam Corey, 2005) menyatakan bahwa beberapa bentuk perilaku akibat unfinished bussines adalah seseorang akan asyik dengan dirinya sendiri, memaksa orang lain untuk menuruti kehendaknya, bentuk-bentuk perilaku yang menempatkan dirinya sebagai orang kalah, bahkan seringkali muncul simptom-simptom penyakit fisik.
Sebagai contoh ada seorang mahasiswa yang menganggap bahwa semua perempuan itu tidak baik. Perilaku mahasiswa ini cenderung untuk menjauhi perempuan. Diketahui bahwa masa lalu mahasiswa ini mengalami perlakuan yang buruk dari ibunya sewaktu berusia sekolah dasar (unfinished bussines). Pendekatan Gestalt tidak berorientasi pada masa lalu atau berusaha untuk mengorek perilaku orang tua yang menyebabkan dia berperilaku menjauhi perempuan. Sebab, jika itu dilakukan, maka mahasiswa ini akan berusaha untuk meraih masa lalunya yang hilang, dan dia akan berpikir menjadi anak kecil. Ini adalah proses yang tidak produktif. Konselor Gestalt akan berusaha untuk membantu mahasiswa ini merasakan apa yang terjadi saat ini. Konselor akan menfasilitasi mahasiswa ini untuk menunjukkan situasi yang terjadi saat ini. Mahasiswa dibantu untuk menyadari bahwa perilakunya tidak produktif dan kemudian mencari perilaku-perilaku yang lebih produktif.

Contact & Resisstance to Contact
Hal terpenting dalam kehidupan manusia adalah malakukan kontak atau bertemu dengan orang lain di sekitar. Kirchner (2008) menyatakan bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk melakukan kontak secara efektif dengan orang lain, dengan kemampuan itu, maka individu akan dapat bertahan hidup dan tumbuh semakin matang. Semua kontak yang dilakukan oleh individu memiliki keunikan sendiri-sendiri yang berujung pada bagaimana individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.
Perls menyatakan bahwa proses kontak dilakukan dengan cara melihat, mendengar, membau, meraba dan pergerakan. Lebih lanjut, Gestalt Institute of Cleveland (dalam Krichner, 2000) menunjukkan bahwa proses kontak terjadi karena tujuh tingkatan yaitu (a) sensation, (b) awareness, (c) mobilization of energy, (d) action, (e) contact, (f) resolution and closure, dan (7) withdrawal.
Proses kontak individu dengan individu lain seringkali mengalami masalah. Masalah ini seringkali muncul karena konseli cenderung untuk menghindari kontak dengan keadaan saat ini dan orang lain. Krichner (2000) menyatakan ada empat hal yang menjadi masalah konseli yaitu confluence, introjection, projection, dan retroflection

Energy & Blocks to Energy
Pendekatan Gestalt memperhatikan energy yang dimiliki oleh individu. Dimana teori ini berkeyakinan bahwa untuk bisa menyelesaikan masalahnya, maka seseorang akan mengeluarkan energy. Penutupan energy ini akan tampak pada keadaan fisik seseorang. Seseorang yang tidak bisa mengeluarkan energinya, seringkali ditampakkan dengan perilaku non verbal seperti, bernapas pendek-pendek, tidak focus dengan lawan bicara, berbicara dengan suara tertahan, perhatian yang minimal terhadap sebuah obyek, duduk dengan kaki tertutup, posisi duduk yang cenderung menjauhi lawan bicara dan lain sebagainya. Sebagai contoh, seseorang yang pada saat ini ingin marah, tetapi tertahan, maka tubuhnya akan mereaksi penahaman marah (sebagai upaya pelepasan energy) dengan bentuk-bentuk seperti napas tersengal-sengal.
Dalam proses konseling, konselor berusaha untuk membantu kondisi pelepasan energy yang dimiliki oleh konseli. Pada awalnya konseli diajak untuk mengenal perasaannya saat ini, dan kemudian membantu untuk melepaskan energi yang tertahan tersebut.

Konseling Eklektik



Eklektikisme (electicsm) adalah pandangan yang berusaha menyelidiki berbagai sistem metode, teori, atau doktrin, yang dimaksudkan untuk memahami dan bagaimana menerapkannya dalam situasi yang tepat. Teori-teori yang dipelajari tersebut dalam beberapa hal dapat dikatakan benar sekalipun tampak satu dengan lainnya saling bertentangan. Eklektikisme berusaha untuk mempelajari teori-teori yang ada dan menerapkannya dalam situasi yang dipandang tepat.
            Pendekatan konseling eklektik berarti konseling yang didasarkan pada berbagai konsep dan tidak berorientasi pada satu secara ekslusif. Eklektikisme berpandangan bahwa sebuah teori memiliki keterbatasan konsep, prosedur dan teknik. Kerena itu eklektikisme “dengan sengaja” mempelajari berbagai teori dan menerapkannya sesuai dengan keadaan riil konseli.
            Konseling eklektik dapat pula disebtu dengan pendekatan konseling integratif. Perkembangan pendekatan ini sudah dimulai sejak tahun 1940-an, yaitu ketika F.C. Thorne menyumbangkan pikirannya dengan mengumpulkan dan mengevaluasi semua metode konseling yanga ada (Gilliland dkk., 1984).
            Dari tahun 1945 hingga meninnggalnya tahun 19778, Thorne telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi upaya pengintegrasian seluruh pengetahuan psikologi ke dalam pendekatan yang sistematis dan komprehensif untuk konseling dan psikoterapi. Dari kerja kerasnya ini Thorne memperoleh sambutan positif dan sangat luas dari kalangan psikolog. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa pada 1945 tidak ada anggota APA khususnya Devisi Psikologi Klinis yang berkiblat pada ekletik, dan pada 1970 lebih 50% anggota APA telah merujuk pada ekletik. Pertengahan tahun 1970-an 64% telah berorientasi pada eklektik (Gilliland dkk., 1984). Oleha karena itu, menurut prochoska (1984), konseling eklektik telah menjadi aliran konseling yang paling populer di antara terapi modern yang ada.
            Di antara ahli-ahli eklektik adalah brammer dan shostrom (1982) sejak 1960 yang mengembangkan model konseling yang dinamakan “actualization counseling”, dan telah membawa konseling ke dalam kerangka kerja lebih luas, yang tidak terbatas pada satu perdekatan tetapi mengupayakan pendekatan yang integratif dari berbagai pendekatan.
            Pada akhir 1960-an hingga 1977, R.carkhuff juga telah mengembangkan konseling eklektik, dengan cara melakukan testing dan riset secara konprehensif, sistematik, dan terintegratif. Ahli lain yang turut membantu pengembangan konseling ekletik diantaranya G. Egan (1975) dengan istilah systemic helping, prochaska (1984) dengan nama integrative eclectic.
A.      PERBANDINGAN EKLEKTIK DENGAN PENDEKATAN LAIN
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian di atas bahwa eklektik berusaha mempelajari berbagai teori dan mmenerapkannya sesuai dengan keadaan konseli. Berangkat dari cara pandangan eklektik yang demikian ini yang perlu mendapatkan jawaban adalah di mana keistimewaan pendekatan ini dibandingkan dengan teori-teori yang lain? Untuk memberikan jawab terhadap pertanyaan ini Capuzzi dan Gross (1991) mengemukakan bahwa dalam penerapannya ada tiga macam aliran konseling, yaitu formalisme atau puritisme, sinkretisme, dan eklektikisme. Perbedaan ketiga aliran ini dijelaskan sebagai berikut.
1.      Formalisme atau puritisme
Penganut formalitas ini akan “menerima tau tidak sama sekali” sebuah teori. Dia setuju dengan teori tertentu sehingga seluruh kerangka teoretiknya secara bulat tanpa ada kritik sedikitpun. Teori yang tidak disetujui akan ditolaknya keseluruhannya. Dengan demikian penganut formalisme akan menerima apa adanya tanpa kritik.
2.      Sinkretisme
Pandangan ini beranggapan bahwa setiap teori adalah baik, efektif, dan positif. Kalangan sinkretisme akan menerapkan teori-teori yang dipelajari, tanpa perlu melihat kerangka dan latar belakang teori itu dikembangkan. Dihubung-hubungkan teori-teori itu tanpa ada sistem yang jelas dan teratur. Penganut sinkretisme akan mencampur aduk teori yang satu dengan yang lain sesuai dengan kehendaknya sendiri.
3.      Ekelektikisme
Penganut pandanganeklektik akan menyeleksi berbagai pendekatan yang ada. Prinsipnya setiap teori memiliki kelemahan dan unggulan. Suatu teori dapat diterapkan sesuai dengan masalah konseli dan situasinya. Konselor menyeleksi teori-teori yang ada dan membawa ke dalam kerangka kerja prinsip-prinsip teoretik dan prosedur praktis.
Atas dasar pengertian ini maka penganut konseling eklektik akan menggunakan konsep-konsep secara tetap dari teori itu. Jika teori (A) lebih tepat untuk kasus konseli dia akan menggunakannya, jika tidak akan dipilih teori lain yang lebih sesuai. Hal ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan prochaska (1984) bahwa konseling eklektik merupakan penerapan prinsip-prinsip psikologi untuk memecahkan masalah-masalah personal, dengan menerapkan prinsip-prinsip khusus yang ditetapkan berdasarkan masalah khusus yang dipecahkan.
Konseling eklektik ini tampaknya tepat sebagaimana digambarkannya oleh Keeney B. P. (Cottone, 1992: 199) “different music is played at different times”, karena eklektik pada suatu saat akan menggunakan konseling humanistik dan saat lain dapat menggunakan behaviorisme sesuai dengan masalah yang dihadapi konselinya.
Kecocokan antara masalah dengan pendekatan yang digunakan merupakan pertimbangan utama konselor dalam menetapkan jenis pendekatan apa yang hendak digunakan. Oleh karena itu, konselor eklektik semestinya memahami berbagai pendekatan dan memiliki kemampuan untuk menerapkannya dalam situasi yang diharapkan (prochaska, 1992). Misalnya untuk kasus konseli dengan gangguan neurosis organik oleh prochaska disarankan menggunakan psikoanalisis, sementara konseli dengan masalah yang berhubungan dengan modifikasi perilaku sebaiknya menggunakan konseling behavior.
Pendekatan eklektik ini sangatlah ilmiah, sistematik, dan logis. Konselor tidak perlu terikat dengan salah satu teori. Dalam pendekatan eklektik konselor menjalankan konseling secara sesuai dengan situasi konseli. Mereka tidak bekerja secara serampangan, emosional, popularitas, interes khusus, ideologi atau asa kemauannya dirinya sendiri. Lebih dari itu pendekatan eklektik itu sendiri secara konstan berkembang dan berubah sesuai dengan ide, konsep dan teknik serta hasil-hasil riset mutakhir.
B.       TEORI KEPRIBADIAN
Sebagaiman yang dikemukakan Gilliland dkk. (1984) konseling eklektik merupakan teori konseling yang tidak memiliki teori atau prinsip khusus tentang kepribadian. Namun penganut eklektik beranggapan bahwa konselor eklektik pada dasarnya peduli dengn teori kepribadian. Mereka menerima bahwa validasi pendekatan eklektik tergantung pada pengetahuan yang dimiliki.
            Eklektik menguatamakan aspek kondisi psikologis dari pada sifat kepribadian sebagai fokus sentral yang lain dari kepribadian. Thorne memandang tingkah laku atau kepribadian berada dalam perubahan terus-menerus, selalu berkembang dan berubah dalam dunia yang berubah pula (Gilliland dkk., 1984). Menurutnya, “hukum perubahan universal” menyatakan bahwa tingkah laku adalah hasil dari : (a) status organisme, tetapi tidak statis, (b) status situasi dalam perubahan lingkungan interpersonal, dan (c) sistuasi atau kondisi umum.
C.      TUJUAN KONSELING
Tujuan konseling menurut eklektik merupakan membantu konseli mengembangkan integritasnya pada level tertinggi, yang ditandai oleh adanya aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan.
Untuk mencapai tujuan yang idel ini maka konseli perlu dibantu untuk menyadari sepenuhnya situasi masalahnya, mengajarkan konseli secara sadar dan intensif memiliki latihan pengendalian di atas masalah tingkah laku. Eklektik berfokus secara langsung pada tingkah laku, tujuan, masalah dan sebagaimana. Konselor dalam mencapai tujuan ini dapat berperan secara bervariasi, misalnya sebagai konselor, psikiater, guru, konsultan, fasilitator, mentor, advisor, atau pelatih.
D.      STRATEGI KONSELING
Ø  Hubungan konselor dan konseli
Ø  Interview
Ø  Assessment
Ø  Perubahan ide
E.       TAHAPAN KONSELING
·         Tahap eksplorasi masalah
·         Tahap perumusan masalah
·         Tahap identifikasi alternatif
·         Tahap perencanaan
·         Tahap tindakan atau komitmen
·         Tahap penilaian dan umpan balik
F.       PERANAN KONSELOR
Peran konselor eklektik sebenarnya tidak terdefinisi secara khusus. Hanya saja dikemukakan peran konselor sangat ditentukan oleh pendekatan yang digunakan dalam proses konseling itu. Jika dalam proses konseling itu menggunakan psikoanalisis, maka peran konselor adalah sebagai psikoanalisis, sementara jika pendekatan yang digunakan adalah berpusat pada konseli maka perannya sebagai pertner konseli dalam membuka diri terhadap segenap pengalamannya.
Beberapa ahli eklekik memberi penekanan bahwa konselor perlu memberi perhatian kepada konseli, menciptakan iklim yang kondusif bagi perubahan yang diinginkan konseli. Pada dasarnya seluruh pendekatan berkeinginan membantu konseli mengubah diri konseli sebagaimana yang dia alami.

Analisis Film Malaikat Tanpa Sayap



2.1 Sinopsis Film
Kisah film ini bermula dari kehidupan seorang remaja yang berasal dari keluarga kaya yang bernama Vino. Vino adalah remaja galau yang tidak pernah peduli dengan permasalahan orangtuanya.
Suatu hari Ayah Vino, Amir usahanya bangkrut karena ditipu oleh rekan bisnisnya. Rumah Vino disita Bank demi menutupi hutang ayahnya. Ibu Vino, Mirna yang terbiasa hidup berkecukupan, tidak dapat menerima kenyataan itu. Mirna lebih memilih meninggalkan keluarganya walaupun ia memiliki putri kecil yang masih berusia 5 tahun, Wina.
Vino bersama keluarganya harus menanggung semua akibat dari keterpurukan usaha Ayahnya. Mereka terpaksa tinggal di sebuah kontrakan di lingkungan yang kumuh. Sejak kehidupan mereka berubah ayah Vino sudah tidak mampu lagi membayar uang SPP Vino. Akibatnya Vino harus dikeluarkan dari sekolahnya. Di tengah situasi yang kacau itu, ternyata Wina mengalami kecelakaan, ia terjatuh dari kamar mandi. Akibatnya kaki Wina akan diamputasi.
Pikiran Vino semakin kacau dan galau. Ia sangat menyesalkan mengapa ayahnya membuat kehidupan mereka porak poranda seperti sekarang ini. Di tengah kegalauan hatinya, Vino bertemu dengan Calo. Calo menawarkan Vino agar ia mau menjual organ tubuhnya yaitu Jantung untuk didonorkan kepada seseorang yang membutuhkannya.
Tawaran Calo itu tidak langsung diterima oleh Vino. Vino dan Ayahnya masih berupaya dengan berbagai cara untuk mendapatkan uang demi mengoperasi kaki Wina. Namun usaha mereka selalu gagal.
Pikiran Vino mulai kacau. Dengan sangat terpaksa, akhirnya ia menerima tawaran Calo tersebut untuk mendonorkan jantungnya demi mendapatkan uang untuk biaya operasi adiknya. Calo memberikan uang muka kepada Vino atas persetujuannya menjual jantungnya. Dengan uang itu Vino bisa membiayai operasi adiknya. Vino juga bisa menebus kembali rumah lamanya yang telah disita bank.
Saat Vino berada di rumah sakit untuk mengurus keperluan operasi Wina, secara tidak sengaja Vino bertemu dengan seorang gadis manis, Mura.
Mura adlah gadis yang sebaya dengan Vino memiliki kehidupan keluarga yang sangat harmonis, sangat berbanding terbalik dengan kehidupan Vino yang selalu berselisih paham dengan Ayahnya.
Perbedaan Vino dan Mura justru menjadi pelengkap bagi keduanya. Mura yang kesehariannya hanya memiliki teman di dunia maya dan mengikuti homeschooling itu merasa nyaman berteman dengan Vino yang memiliki banyak teman meskipun telah putus sekolah.
Hubungan Mura dan Vino semakin dekat dan akrab. Sejak mengenal Vino, Mura menjadi gadis yang penuh semangat dibanding sebelumnya. Ia nampak lebih ceria menjalani hari-harinya. Demikian pula halnya dengan Vino. Ia mulai peduli dengan ayah dan adiknya.
Kegalauan hati Vino mendadak muncul saat Calo menagih janji Vino untuk mendonorkan jantungnya. Tetapi Vino belum siap memberikan jantungnya dan berniat untuk mundur.
Masalah semakin pelik di tengah kegalauan hati Vino. Ia ingin melanjutkan masa depannya dengan organ tubuh yang lengkap. Namun di lain sisi, Vino harus menerima kenyataan bahwa orang yang akan menerima donor jantungnya adalah Mura, gadis yang sangat dicintainya.
Di tengah kebimbangan Vino memilih untuk melanjutkan apa yang menjadi keputusannya, mendonorkan jantungnya kepada orang yang dicintainya. Namun sebelumnya dia ingin berbuat sesuatu untuk ayahnya dan untuk Mura, dia tulis juga surat untuk orang-orang terkasihnya. Setelah itu, dia temui calo untuk menuntaskan perjanjian mereka. Sementara itu, Mura dan ayahnya segera bersiap-siap berangkat ke Singapura untuk operasi transplantasi jantung. Mura masih saja menanyakan ketidakhadiran Vino kepada Ayahnya.
Vino siap menghadapi maut di kamarnya. Obat yang dikasih oleh calo akan mengantarkannya pada kematian sudah bertumpuk di tangannya. Akhirnya, tak sadar dirilah Vino, didalam rumahnya ibunya yang sudah lama pergi kembali mencoba membjuk Wina untuk ikut bersama meninggalkan ayah dan kakaknya. Wina tetap tidak mau pergi bersama ibunya setelah dipaksa berkali-kali, akhirnya ayahnya membelanya, mencegah anak yang dikasihinya direbut mantan istri yang meninggalkan keluarganya. Sekian menit kemudian ayahnya tertembak pistol oleh pacar baru istrinya.
Dua anggota keluarga yang sekaratVino dan ayahnya, dibawa ke rumah sakit oleh ambulans yang meraung-raung. Calo sudah menanti di rumah sakit, menanti jantung  layaknya makelar mobil yang sudah menemukan mobil keluaran terbaru untuk klien pemesannya. Tak disangka tanpa sepengetahuan siapa pun, ayah Vino diam-diam sudah tahu perjanjian Vino tersebut. Di tengah sekaratnya dia memohon menggantikan janji Vino untuk memberikan jantungnya kepada Mura.
Akhirnya Vino terselamatkan. Mura terselamatkan. Wina mendapat ayah baru yang bukan lagi sopir taksi, bapaknya Mura menjadi bapak Wina. Dan mereka hidup bersama sebagai keluarga baru.
2.2 Relasi Orangtua dan Anak
            Dalam film Malaikat Tanpa Sayap ini hubungan antara orangtua dan anak atau hubungan Vino dengan keluarganya tidak terjalin dengan harmonis. Setelah usaha ayahnya bangkrut karena ditipu, Vino merasa galau dan seakan tidak peduli lagi dengan permasalahan orang tuanya, tidak seperti keluarga Maura. Walaupun Maura anak tunggal dan dibesarkan oleh ayahnya karena ibunya telah meninggal dunia, Maura seakan ada ditengah-tengah keluarganya. Karena ayahnya selalu meluangkan waktun untuk Maura untuk mengetahui kondisi anaknya yang sedang sakit.
2.3 Relasi antar Saudara
Dalam film Malaikat Tanpa Sayap ini hubungan antara Vino dan adiknya Wina, dulunya tidak terjalin harmonis sebelum usaha ayahnya bangkrut. Tetapi setelah usaha ayahnya bangkrut karena ditipu oleh seseorang, kemudian mereka tinggal dirumah kontrakan yang kumuh dan kemudian ditinggal pergi oleh ibunya karena tidak bisa menerima kenyataan yang ada. Disaat itu Wina adik Vino mengalami kecelakaan dan kakinya harus dioperasi. Akhirnya mulai saat itu Vino mulai menunjukkan perhatiannya kepada Wina dan menunjukkan diri bahwa dia sebagai kakak dan anak yang paling tua dalam keluarga harus bisa membantu ayahnya untuk mendapatkan biaya rumah sakit adiknya.


2.4 Relasi Suami Istri
            Dalam film Malaikat Tanpa Sayap ini hubungan antara Amir dan istrinya Mirna tidak harmonis. Karena dalam film ini Mirna lebih meninggalkan keluarga kecilnya dan mencari sesuatu yang baru diluar dari pada harus tinggal bersama suaminya yang bangkrut.
2.5 Konflik
Dalam film Malaikat Tanpa Sayap ini konflik yang terjalin disini seperti konflik antara Vino dan ayahnya akibat mempertahankan egonya masing-masing hubungan keluarga mereka menjadi tidak harmonis.
Kemudian konflik antara Amir dan Istrinya, istrinya meninggalkan Amir dan anak-anaknya disaat keluarga mereka lagi dilanda kesusahan akibat usaha Amir bangkrut.
2.6 Resolusi Konflik
Dalam film Malaikat Tanpa Sayap ini cara untuk menyelesaikan konflik antara Vino dan ayahnya, seharusnya Vino atau ayahnya memberitahukan apa dan mengapa permasalahan itu sampai terjadi, kemudian diskusikan bersama masalah tersebut dan sambil memikirkan jalan keluar yang aman, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti mencuri motor yang dilakukan oleh Vino dalam film tersebut.
Kemudian untuk menyelesaikan konflik antara Amir dan Istrinya yaitu Mirna istrinya harus bisa mengerti dan harus menerima musibah yang menimpa mereka akibat usaha suaminya bangkrut. Seharusnya peran Amir sebagai suami dan sebagai kepala rumah tangga pun sangat penting apabila ada konflik antara suami dan istri. Pertama Amir harus memberitahukan kepada Mirna kenapa Usahanya bisa bangkrut, kemudian diskusikan bersama pokok permasalahannya apa dan mengambil solusi terbaik untuk masalah mereka.