Eklektikisme (electicsm)
adalah pandangan yang berusaha menyelidiki berbagai sistem metode, teori, atau
doktrin, yang dimaksudkan untuk memahami dan bagaimana menerapkannya dalam
situasi yang tepat. Teori-teori yang dipelajari tersebut dalam beberapa hal
dapat dikatakan benar sekalipun tampak satu dengan lainnya saling bertentangan.
Eklektikisme berusaha untuk mempelajari teori-teori yang ada dan menerapkannya
dalam situasi yang dipandang tepat.
Pendekatan konseling eklektik
berarti konseling yang didasarkan pada berbagai konsep dan tidak berorientasi
pada satu secara ekslusif. Eklektikisme berpandangan bahwa sebuah teori
memiliki keterbatasan konsep, prosedur dan teknik. Kerena itu eklektikisme
“dengan sengaja” mempelajari berbagai teori dan menerapkannya sesuai dengan
keadaan riil konseli.
Konseling eklektik dapat pula
disebtu dengan pendekatan konseling integratif. Perkembangan pendekatan ini
sudah dimulai sejak tahun 1940-an, yaitu ketika F.C. Thorne menyumbangkan
pikirannya dengan mengumpulkan dan mengevaluasi semua metode konseling yanga
ada (Gilliland dkk., 1984).
Dari tahun 1945 hingga meninnggalnya
tahun 19778, Thorne telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi upaya
pengintegrasian seluruh pengetahuan psikologi ke dalam pendekatan yang
sistematis dan komprehensif untuk konseling dan psikoterapi. Dari kerja
kerasnya ini Thorne memperoleh sambutan positif dan sangat luas dari kalangan
psikolog. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa pada 1945 tidak ada
anggota APA khususnya Devisi Psikologi Klinis yang berkiblat pada ekletik, dan
pada 1970 lebih 50% anggota APA telah merujuk pada ekletik. Pertengahan tahun
1970-an 64% telah berorientasi pada eklektik (Gilliland dkk., 1984). Oleha
karena itu, menurut prochoska (1984), konseling eklektik telah menjadi aliran
konseling yang paling populer di antara terapi modern yang ada.
Di antara ahli-ahli eklektik adalah
brammer dan shostrom (1982) sejak 1960 yang mengembangkan model konseling yang
dinamakan “actualization counseling”, dan telah membawa konseling ke dalam
kerangka kerja lebih luas, yang tidak terbatas pada satu perdekatan tetapi
mengupayakan pendekatan yang integratif dari berbagai pendekatan.
Pada akhir 1960-an hingga 1977,
R.carkhuff juga telah mengembangkan konseling eklektik, dengan cara melakukan
testing dan riset secara konprehensif, sistematik, dan terintegratif. Ahli lain
yang turut membantu pengembangan konseling ekletik diantaranya G. Egan (1975)
dengan istilah systemic helping, prochaska (1984) dengan nama integrative
eclectic.
A.
PERBANDINGAN
EKLEKTIK DENGAN PENDEKATAN LAIN
Sebagaimana telah dijelaskan pada
bagian di atas bahwa eklektik berusaha mempelajari berbagai teori dan
mmenerapkannya sesuai dengan keadaan konseli. Berangkat dari cara pandangan
eklektik yang demikian ini yang perlu mendapatkan jawaban adalah di mana
keistimewaan pendekatan ini dibandingkan dengan teori-teori yang lain? Untuk
memberikan jawab terhadap pertanyaan ini Capuzzi dan Gross (1991) mengemukakan
bahwa dalam penerapannya ada tiga macam aliran konseling, yaitu formalisme atau
puritisme, sinkretisme, dan eklektikisme. Perbedaan ketiga aliran ini
dijelaskan sebagai berikut.
1.
Formalisme atau puritisme
Penganut formalitas
ini akan “menerima tau tidak sama sekali” sebuah teori. Dia setuju dengan teori
tertentu sehingga seluruh kerangka teoretiknya secara bulat tanpa ada kritik
sedikitpun. Teori yang tidak disetujui akan ditolaknya keseluruhannya. Dengan
demikian penganut formalisme akan menerima apa adanya tanpa kritik.
2.
Sinkretisme
Pandangan ini
beranggapan bahwa setiap teori adalah baik, efektif, dan positif. Kalangan
sinkretisme akan menerapkan teori-teori yang dipelajari, tanpa perlu melihat
kerangka dan latar belakang teori itu dikembangkan. Dihubung-hubungkan
teori-teori itu tanpa ada sistem yang jelas dan teratur. Penganut sinkretisme
akan mencampur aduk teori yang satu dengan yang lain sesuai dengan kehendaknya
sendiri.
3.
Ekelektikisme
Penganut pandanganeklektik
akan menyeleksi berbagai pendekatan yang ada. Prinsipnya setiap teori memiliki
kelemahan dan unggulan. Suatu teori dapat diterapkan sesuai dengan masalah
konseli dan situasinya. Konselor menyeleksi teori-teori yang ada dan membawa ke
dalam kerangka kerja prinsip-prinsip teoretik dan prosedur praktis.
Atas dasar
pengertian ini maka penganut konseling eklektik akan menggunakan konsep-konsep
secara tetap dari teori itu. Jika teori (A) lebih tepat untuk kasus konseli dia
akan menggunakannya, jika tidak akan dipilih teori lain yang lebih sesuai. Hal
ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan prochaska (1984) bahwa konseling
eklektik merupakan penerapan prinsip-prinsip psikologi untuk memecahkan
masalah-masalah personal, dengan menerapkan prinsip-prinsip khusus yang
ditetapkan berdasarkan masalah khusus yang dipecahkan.
Konseling eklektik
ini tampaknya tepat sebagaimana digambarkannya oleh Keeney B. P. (Cottone,
1992: 199) “different music is played at different times”, karena eklektik pada
suatu saat akan menggunakan konseling humanistik dan saat lain dapat
menggunakan behaviorisme sesuai dengan masalah yang dihadapi konselinya.
Kecocokan antara
masalah dengan pendekatan yang digunakan merupakan pertimbangan utama konselor
dalam menetapkan jenis pendekatan apa yang hendak digunakan. Oleh karena itu,
konselor eklektik semestinya memahami berbagai pendekatan dan memiliki
kemampuan untuk menerapkannya dalam situasi yang diharapkan (prochaska, 1992).
Misalnya untuk kasus konseli dengan gangguan neurosis organik oleh prochaska
disarankan menggunakan psikoanalisis, sementara konseli dengan masalah yang
berhubungan dengan modifikasi perilaku sebaiknya menggunakan konseling
behavior.
Pendekatan eklektik
ini sangatlah ilmiah, sistematik, dan logis. Konselor tidak perlu terikat
dengan salah satu teori. Dalam pendekatan eklektik konselor menjalankan
konseling secara sesuai dengan situasi konseli. Mereka tidak bekerja secara
serampangan, emosional, popularitas, interes khusus, ideologi atau asa
kemauannya dirinya sendiri. Lebih dari itu pendekatan eklektik itu sendiri
secara konstan berkembang dan berubah sesuai dengan ide, konsep dan teknik
serta hasil-hasil riset mutakhir.
B.
TEORI KEPRIBADIAN
Sebagaiman yang
dikemukakan Gilliland dkk. (1984) konseling eklektik merupakan teori konseling
yang tidak memiliki teori atau prinsip khusus tentang kepribadian. Namun
penganut eklektik beranggapan bahwa konselor eklektik pada dasarnya peduli
dengn teori kepribadian. Mereka menerima bahwa validasi pendekatan eklektik
tergantung pada pengetahuan yang dimiliki.
Eklektik menguatamakan aspek kondisi
psikologis dari pada sifat kepribadian sebagai fokus sentral yang lain dari
kepribadian. Thorne memandang tingkah laku atau kepribadian berada dalam
perubahan terus-menerus, selalu berkembang dan berubah dalam dunia yang berubah
pula (Gilliland dkk., 1984). Menurutnya, “hukum perubahan universal” menyatakan
bahwa tingkah laku adalah hasil dari : (a) status organisme, tetapi tidak
statis, (b) status situasi dalam perubahan lingkungan interpersonal, dan (c)
sistuasi atau kondisi umum.
C.
TUJUAN KONSELING
Tujuan konseling menurut
eklektik merupakan membantu konseli mengembangkan integritasnya pada level
tertinggi, yang ditandai oleh adanya aktualisasi diri dan integritas yang
memuaskan.
Untuk mencapai
tujuan yang idel ini maka konseli perlu dibantu untuk menyadari sepenuhnya
situasi masalahnya, mengajarkan konseli secara sadar dan intensif memiliki
latihan pengendalian di atas masalah tingkah laku. Eklektik berfokus secara
langsung pada tingkah laku, tujuan, masalah dan sebagaimana. Konselor dalam
mencapai tujuan ini dapat berperan secara bervariasi, misalnya sebagai
konselor, psikiater, guru, konsultan, fasilitator, mentor, advisor, atau
pelatih.
D.
STRATEGI KONSELING
Ø
Hubungan konselor dan konseli
Ø
Interview
Ø
Assessment
Ø
Perubahan ide
E.
TAHAPAN KONSELING
·
Tahap eksplorasi masalah
·
Tahap perumusan masalah
·
Tahap identifikasi alternatif
·
Tahap perencanaan
·
Tahap tindakan atau komitmen
·
Tahap penilaian dan umpan balik
F.
PERANAN KONSELOR
Peran konselor
eklektik sebenarnya tidak terdefinisi secara khusus. Hanya saja dikemukakan
peran konselor sangat ditentukan oleh pendekatan yang digunakan dalam proses
konseling itu. Jika dalam proses konseling itu menggunakan psikoanalisis, maka
peran konselor adalah sebagai psikoanalisis, sementara jika pendekatan yang
digunakan adalah berpusat pada konseli maka perannya sebagai pertner konseli
dalam membuka diri terhadap segenap pengalamannya.
Beberapa ahli
eklekik memberi penekanan bahwa konselor perlu memberi perhatian kepada
konseli, menciptakan iklim yang kondusif bagi perubahan yang diinginkan
konseli. Pada dasarnya seluruh pendekatan berkeinginan membantu konseli
mengubah diri konseli sebagaimana yang dia alami.
trims catatannya
BalasHapus